Dalam pengolahan data citra satelit
sangat pelu dilakukannya uji akurasi data. Akurasi yang dimaksud disini
adalah kecocokan antara suatu informasi standar yang dianggap benar,
dengan citra terklasifikasi yang belum diketahui kualitas informasinya (Campbell, 1987).
Kesalahan dalam klasifikasi dapat
disebabkan oleh kompleksnya interaksi yang terjadi antar struktur
spasial suatu bentang alam, resolusi sensor, algoritma pengolahan, dan
prosedur klasifikasi yang digunakan. Sumber kesalahan yang paling
sederhana terjadi oleh karena kekeliruan penetapan informasi dari kelas
spektral yang diada.
Uji akurasi dilakukan dengan
membandingkan dua peta, satu peta bersumber dari hasil analisis
penginderaan jauh (peta yang akan diuji) dan satunya adalah peta yang
berasal dari sumber lainnya, (Campbell 1987). Peta kedua dijadikan
sebagai peta acuan, dan diasumsikan memiliki informasi yang benar.
Seringkali data acuan ini dikompilasi dari informasi yang lebih detail
dan akurat dari data yang akan diuji.
Format baku untuk melaporkan hasil uji akurasi adalah
dalam bentuk matriks kesalahan, atau dinamakan juga “matriks konfusi”
karena ia mengindentifikasi tidak saja kesalahan untuk suatu kategori
tetapi juga kesalahan klasifikasi antar kategori. Matriks kesalahan
tersusun dari senarai berukuran n kali n, dimana n adalah banyaknya
kelas objek yang ada di peta.
Gambar 1. Contoh Matriks Kesalahan (Congalton dan Green, 1999)
Untuk menyusun matriks kesalahan tersebut, kedua peta
harus dapat dibandingkan. Karena itu, keduanya haruslah memiliki
sistem koordinat yang sama. Ketidaksamaan posisi titik pada peta yang
akan dibandingkan dapat menjadi penyebab terjadinya kesalahan
klasifikasi yang pada akhirnya menghasilkan kesalahan pada uji akurasi.
Menurut Townshed et.al (1992), akurasi dari penyatuan sistem koordinat
biasa dinyatakan dengan root mean square (rms) error dari sejumlah titik
kontrol. Nilai 0.5 hingga 1.0 piksel biasanya dianggap cukup memuaskan
dan secara visual kesalahan posisi manakala kedua citra (peta) di tumpangsusunkan masih berada dalam batas-batas toleransi.
Pengukuran dengan akurasi tinggi dari wilayah terumbu karang
memerlukan metode atau teknik yang terus dikaji, karena semakin
terdesak kebutuhan pendataan yang tepat dalam berbagai skala spasial dan
yang bersifat simultan. Pemanfaatan data citra satelit
penginderaan jauh (inderaja) merupakan metode yang paling ideal untuk
menjawab kebutuhan tersebut (Green et al. 2000). Saat ini citra satelit inderaja telah memiliki kemampuan untuk mendeteksi fitur-fitur di terumbu karang seperti komunitas bentik karang (Hochberg and Atkinson 2000), penutupan karang hidup (Isoun et al. 2003), bahkan spesies hewan bentik dan kesehatan karang (Evanthia et al. 1999). Terlepas dari capaian-capaian tersebut, kajian habitat di pesisir, terutama terumbu karang merupakan tantangan berat terkait implementasi data satelit inderaja karena faktor heterogenitas tersebut, bahkan tak jarang pada faktor skala yang lebih kecil daripada resolusi sensor satelit.
Dalam kasus ini penyusunan matrik kesalahan dengan membandingkan data hasil pengolahan citra
dengan kondisi sebenarnya dilapangan. Nilai ketelitian yang diharapkan
nantinya harus memenuhi syarat lebih besar dari 70 % (Purwadhi 2001),
sehingga dari nilai yang didapatkan tersebut merupakan pembuktian
terhadap nilai kevalidan data citra.
Referensi :
Campbell, J.B. 1987. Introduction to Remote Sensing. The Guilford Press, New York.
Congalton, R. G., and K. Green. 1999. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data. CRC Press, Boca Raton.
Purwadhi, Sri Hardiyanti. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo, Jakarta.
Penulis Anggi Afif Muzaki, S. Pi
No comments:
Post a Comment